Kekuatan Dakwah di Pundak Kaum Terpelajar

Ingat film Titanic? Kapal yang disebut sebagai the unsinking ship (tidak dapat tenggelam) akhirnya karam di telan ombak Atlantik. Tenggelamnya kapal pesiar super mewah pada zamannya ini karena kesombongannya. Puncaknya terjadi ketika sang nahkoda sesumbar, “Bahkan Tuhan pun tidak akan sanggup menenggelamkan Titanic.” Jika tak diingatkan, seorang penguasa bisa membawa negerinya pada kehancuran. Tapi, kebenaran yang didakwahkan terkadang dianggap sebagai kerikil yang harus disingkirkan. Itulah tabiat kekuasaan.

Memang, negeri ini belum hancur sebagaimana kaum terdahulu yang dibinasakan Allah karena kerusakannya. Tapi, dengan kian maraknya kemaksiatan, kejahatan, kemungkaran dan kemunafikan, lambat tapi pasti negeri ini bisa saja karam. Karenanya, dakwah menjadi sangat penting. Apalagi, kaum liberal berkeyakinan, pada 2020 akan terjadi puncak globalisasi. Pada saat itu, pertempuran ideologi-ideologi besar dunia mencapai titik kulminasinya. Siapa yang akan keluar sebagai pemenang? Dakwah Islam atau kekuatan kufar? Lantas, dakwah seperti apa yang bisa mengatasi masalah ini?

Untuk menjawabnya, Sabili berbincang-bincang dengan konseptor sekaligus praktisi dakwah Prof Dr KH Didin Hafidhuddin di komplek Kampus Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. Berikut petikannya:

Ada yang berpendapat, tahun 2020 merupakan puncak globalisasi dunia, peradaban Barat yang kapitalistik dan sekuler akan berhadapan dengan Islam. Terkait dakwah, apa strategi kita?

Pada prinsipnya dakwah bertujuan mengenalkan Allah pada manusia untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Dakwah bukan hanya sekadar ceramah agama di majelis taklim, masjid atau media massa. Dakwah harus menyentuh semua lini kehidupan yang dilakukan dengan lisan, tulisan dan amal perbuatan atau dakwah bil hal, untuk menyeru pada kebenaran semata tanpa embel-embel lain. Persoalannya, karena kondisi masyarakat semakin kompleks, perlu strategi dakwah yang tepat.

Memang, kita hanya ditugaskan untuk menyampaikan kebenaran ajaran Islam saja, sesuai QS al-Ghaasyiyah 21–22, sedangkan hasilnya kita serahkan pada Allah SWT. Hanya Allah yang bisa memberikan taufik dan hidayah pada manusia. Tapi, dengan sikap ini tidak berarti kita harus menafikan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam dakwah. Jika ingin berhasil, dakwah harus dilaksanakan berdasarkan manajerial yang terarah dan terpadu.

Dakwah pun harus melalui proses manajemen?

BetuI. Dakwah harus diorganisir, ditata dengan rapi, dijalankan dengan strategi dan taktik yang jitu. Perumpamaan Rasulullah saw jelas mensyaratkan pentingnya manajemen dalam dakwah. Jika ada orang melubangi kapal, kita harus mencegah dan melindunginya. Persoalannya, cara orang merusak kapal kian canggih dan terorganisir. Jika dakwah mengesampingkan manejemen akan kalah oleh kaum perusak yang terorganisir. Ali bin Abi Thalib mengingatkan, “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisasi secara rapi.”

Soal pentingnya manajemen Nabi Saw juga bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat mencintai jika salah seorang di antara kamu beramal, amalnya itu dituntaskan,” (HR Thabrani). Bahkan, Allah SWT dalam QS an-Nahl: 125 memerintahkan, dakwah harus dijalankan dengan cara al-hikmah (perkataan yang tegas dan benar untuk membedakan antara haq dan batil), mau’izhatil hasanah (pengajaran, pendidikan yang baik) dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang baik).

Terkait 2020, dakwah kita harus bagaimana?

Umat Islam yang memahami prinsip-prinsip dakwah tak akan gentar menghadapi perubahan dan tantangan zaman, karena perubahan merupakan sunatullah. Selama berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw tantangan apapun, termasuk menghadapi puncak globalisasi tahun 2020, 2015 bahkan 2010 akan bisa kita atasi. Kuncinya satu, kita harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip dakwah yang dicontohkan Rasulullah Saw.

Sebagai panduan dalam berdakwah, Imam al-Ghazali mengajukan tiga tahapan yakni, jihad tarbawiyah, jihad tanzimi (nizam) dan jihad akbar. Apa maksudnya?

Jihad tarbawi maksudnya, dalam berjuang dan berdakwah setiap gerakan Islam harus mendasarkan diri pada ilmu, pengetahuan dan pendidikan, sehingga orang bisa memahami apa visi dan misi yang sedang diperjuangkannya. Model perjuangan seperti apa yang diperlukan? Di sinilah diperlukan tarbiyah (pendidikan) yang terus menerus untuk memberikan pemahaman pada para kader dakwah dan umat Islam secara umum. “Fahmun fahmuddin dan fahmunnas, memahami agama dan memahami kondisi kekinian.

Kedua, naik pada tahap tanzimi (diorganisir secara profesional) maksudnya, dalam kerja dakwah kita tidak boleh lagi mengerjakannya dengan asal-asalan. Memperjuangkan sesuatu yang haq tidak boleh dilakukan tanpa aturan, perencanaan, perhitungan yang matang, tanpa nizam. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “al haqku bila nizam ya zimul batil bi nizam” (kebenaran yang tidak diorganisir dengan baik kadang kala bisa dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisir dengan baik). Jadi, pengorganisasian dalam kegiatan dakwah sangat diperlukan.

Ketiga, jihadul akbar. Maksudnya, jika visi, misi, pemahaman, aturan dan organisasi kita sudah baik, silahkan kita menapaki tahap selanjutnya yakni, terjun di medan perjuangan. Apakah itu intishani atau kajian lainnya. Yang jelas, tahapan ini harus dikaji dan memiliki dasar yang kuat berdasarkan dua tahapan dan kajian sebelumnya.

Apakah ada fase-fase dalam penerapannya?

Sebenarnya bisa dilakukan secara simultan tetapi ada penekanan-penekanan yang berbeda-beda. Tapi pada prinsipnya harus dilakukan secara simultan, karena kita harus berhadapan dengan masyarakat yang kian kompleks. Meski begitu, tetap harus ada bagian yang diprioritaskan yakni, proses tarbawinya didahulu baru kemudian tanzim atau nizam-nya. Tapi kita juga tidak boleh karena memprioritaskan tarbawi lalu mengabaikan nidhzam yang boleh dilakukan hanya memberikan tekanan-tekanan yang berbeda. Misalnya, 70% tarbawi dan 30% nizam. Untuk melangkah pada tahap jihadul akbar, harus sudah matang terlebih dulu kedua tahap sebelumnya yakni tarbawi dan nizam atau tanzimi.

Untuk kondisi Indonesia saat ini mana yang diutamakan?

Saya kira tahapan yang pertama dan kedua sangat penting dibangun. Jadi kita harus memberikan pemahaman-pemahaman yang baik tentang Islam. Sekarang ini, masyarakat kita masih belum paham dengan Islam, karenanya diperlukan proses pemahaman yang baik dan simultan, sehingga perlu ada tarbiyah yang dilakukan secara kontinyu dan terus-menerus. Di sisi lain nizam juga diperlukan oleh masyarakat Indonesia. Tanpa ada keteraturan dan organisasi yang solid tidak mungkin kita bisa menjalankan dakwah dengan baik, terencana. Jadi, saya kira untuk kondisi Indonesia kekinian yang diperlukan adalah dakwah dan perjuangan secara tarbawiyah dan tanzimi.

Ukuran kita untuk melangka dari tahap 1, tahap 2 dan tahap 3 itu apa?

Kita memang harus membuat kriterianya yang bisa diukur secara ilmiah dan rasional. Kemudian juga harus ada evaluasinya. Semua kegiatan harus ada ukuran-ukuran yang jelas dan kongkret, apakah berhasil atau tidak, apakah perlu ada pengulangan atau tidak. Misalnya, dalam proses tarbawinya, kita bisa membuat kriteria sekaligus sebagai alat untuk mengevaluasi yakni, dari sisi pemahaman, visi dan misinya tentang Islam. Tanzimi juga begitu misalnya, apakah organisasinya sudah solid atau belum, karena faktanya banyak organisasi Islam yang ternyata tidak solid. Hanya merupakan kumpulan orang saja atau kerumunan orang yang tidak memahami apa itu Islam. Sehingga belum merupakan sebuah kekuatan yang kuat dan solid untuk menjalankan amanah dakwah yang kian berat.

Lembaga dakwah banyak bermunculan tapi ashabiyah juga marak?

Kita harus memperbanyak silaturahim, terutama silaturahim antar organisasi untuk bekerjasama membangun kesepahaman dan tidak mengedepankan perbedaan-perbedaan. Misalnya, antara NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, Salafi, HTI dan organisasi dakwah lainnya melakukan training bersama seperti traning kaderisasi, pemahaman dakwah (fiqu’ dakwah) dan lainnya. Atau membuat kegiatan yang lebih kongkrit lagi seperti membuat BPRS bersama miliki semua organisasi Islam, BMT bersama dan lainnya. Cara ini akan saling memperkuat dan membangun kepercayaan antar organisasi.

Tapi, jika gerakan dakwah hanya membangun pemahaman tentang fiqih saja seperti, soal jenggot, celana di atas mata kaki atau tidak dan lainnya justru bisa menimbulkan pertentangan-petentangan yang hanya menghabiskan energi dalam perjuangan, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Umat juga menjadi semakin bingung dan akhirnya menjauh dari dakwah.

Jadi untuk menyatukan lembaga dakwah akan efektif jika dibawa pada kerja-kerja kongkret yang bermanfaat bagi masyarakat?

Iya, dibawa pada kerja kongkrit, sehingga umat bisa memahami bahwa kita sedang menghadapi masalah besar yang harus segera diselesaikan yakni kemiskinan dan kebodohan. Untuk menyelesaikan persoalan ini sekaligus menyatukan seluruh komponen dan organisasi dakwah di tanah air, lembaga-lembaga dakwah harus menjadi pionir untuk bekerjasama, bersinergi, melakukan kerja nyata mengentaskan kemiskinan dan kebodohan. Misalnya, dengan membangun BMT atau BPRS bersama untuk mengentaskan kemiskinan. Membangun madrasah atau lembaga pendidikan lain yang murah bahkan gratis untuk mengatasi kebodohan.

Terkait tarbawiyah, dari madrasahnya di Bagdhad, al-Ghazali melahirkan Shalahuddin al-Ayyubi dan Nurudin Zanki yang kemudian berhasil membebaskan Palestina. Sepertinya, perubahan sosial dan kebangkitan umat, selalu dimotori oleh kaum terpelajar bukan oleh kalangan yang meneriakkan jargon-jargon jihad?

Dakwah adalah proses perubahan sosial untuk mengubah suatu keadaan ke dalam keadaan yang lebih baik. Di manapun, termasuk di dalam masyarakat Islam, pendidikan dan kaum terpelajar selalu menempati posisi paling strategis dalam perubahan sosial. Kaum santri atau kaum terpelajar dalam masyarakat Islam adalah kelompok masyarakat yang ruh dan jiwanya telah tercerahkan oleh cahaya Islam. Paradigma hidupnya adalah penghambaan total pada Allah SWT dengan menerapkan konsep-konsep Islam secara fundamental.

Tak heran jika dari zaman ke zaman, kaum terpelajar selalu menjadi motor dalam perubahan. Kekuatan utama dakwah Islam juga berada di pundak kaum terpelajar. Ini semua merupakan buah dari sistem pendidikan Islam yang utuh, integral dan komprehensif pada saat itu. Karenanya, jika kita bisa menciptakan sistem pendidikan Islam yang utuh dan komprehensif kemudian melahirkan sebanyak-banyaknya orang-orang shalih atau kaum terpelajar, dengan sendirinya dakwah Islam akan berkembang pesat.

Jadi, politik hanya bagian kecil dalam dakwah?

Betul. Politik hanya bagian kecil dalam dakwah, karena dakwah mencakup semua bidang. Jika sebuah masyarakat sudah tercerahkan ruh dan jiwanya oleh Islam, perubahan sosial akan terjadi dengan sendirinya. Memang, dakwah bidang politik punya peran cukup penting dalam upaya mengubah tatanan negara menjadi lebih baik. Jika dakwah politik dimanfaatkan optimal untuk mengubah atau menciptakan peraturan dan UU yang sejalan dengan konsep-konsep Islam secara fundamental, akan sangat bermanfaat bagi terbentuknya tatanan negara dan masyarakat yang Islami.

Persoalannya, dunia politik dan kekuasaan besar sekali godaannya. Siapapun orangnya, jika sudah berkuasa akan cenderung mempertahankan kekuasannya dengan berbagai cara. Bagi yang belum berkuasa, akan terus berusaha merebutnya. Kekuasaan juga menggoda kita dengan berbagai kenikmatan dunia dan berlimpahnya materi. Dalam konteks ini, mudah sekali kita tergelincir pada perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Tapi kenapa dakwah politik terasa lebih dominan di negeri ini?

Karena politik memang menarik dan menjadi perhatian banyak orang. Dakwah dibidang politik tidak menjadi masalah, asal dijalankan seusai rambu-rambu Islam dan didedikasikan semata-mata untuk kejayaan Islam. Yang jadi masalah, ketika pertimbangan politik untuk meraup dukungan suara sebanyak mungkin akhirnya meminggirkan pertimbangan dakwah. Lebih penting mana, menyelamatkan dakwah atau memperoleh suara sebanyak mungkin dalam pemilu dan pilkada?

Dalam pilkada misalnya, di beberapa daerah persaingan memenangkan calon berubah menjadi amuk antar pendukung, keharmonisan sosial pun tercabik-cabik. Padahal, dakwah, termasuk dakwah di bidang poltik seharusnya memberikan solusi, bukan menciptakan masalah baru. Di sini, kader-kader dakwah di bidang politik, seharusnya bisa mengajukan solusi. Apakah pilkada dilaksanakan secara langsung atau cukup perwakilan saja atau bagaimana? Kader dakwah di bidang politik harus bisa menyelesaikannya.

Sumber : www.sabili.co.id diakses hari Sabtu tanggal 12 Juni 2010

0 komentar:

Posting Komentar