Salah satu problem yang dihadapi
oleh semua bangsa di dunia sekarang ini adalah kemiskinan. Kemiskinan sama
tuanya dengan usia manusia itu sendiri dan implikasi masalahnya dapat
menjangkiti seluruh aspek kehidupan manusia.[2]
Sekarang ini, kemiskinan tengah
mendera bangsa Indonesia. Deraan kemiskinan ini semakin berat dirasakan
terutama ketika bangsa ini mengalami krisis moneter tahun 1997-an. Hingga kini
efek kemiskinan dan krisis tersebut masih terasa. Ini diperparah dengan
terjadinya krisis global yang akhir-akhir ini melanda hampir seluruh negara di
dunia, termasuk Indonesia. Paling tidak, ini diindikasikan dengan
meningkatnya angka tindak kriminal, gizi buruk, busung lapar, anak putus
sekolah dan lain sebagainya.
Pada tanggal 2 Juli 2007, pemerintah
Indonesia melalui Badan Pusat Statistik (BPS) secara resmi mengumumkan turunnya
jumlah penduduk miskin menjadi 37,7 juta jiwa atau 16,58 persen dari total
penduduk Indonesia selama periode Maret 2006 sampai dengan Maret 2007. Meski
demikian angka tersebut bukan berarti menunjukkan bahwa problem kemiskinan di
negeri telah selesai, atau paling tidak berkurang.
Sejumlah NGO (non-government
organization) ataupun pengamat politik dan sosial meragukan hasil
penghitungan tersebut. Sebab pada kenyataannya warga masyarakat yang hidup di
bawah garis kemiskinan masih ada di mana-mana. Pendek kata, kemiskinan tetaplah
menjadi persoalan utama bagi bangsa Indonesia.
Berbagai problem solving telah
diawarkan oleh pemerintah dan pihak-pihak swasta melalui berbagai program
pengentasan kemiskinan, perluasan lapangan kerja, pelatihan-pelatihan,
peminjaman dana bergulir dan lain-lain. Namun, itu pun—untuk tidak mengatakan
gagal sama sekali—tidak menyelesaikan masalah seratus persen. Sebab, tidak
hanya oleh pemerintah, pihak swastapun, program-program tersebut cenderung
dijadikan ‘proyek’ sesaat belaka.
Oleh karena itu, terkait dengan
pengentasan kemiskinan, artikel ini mencoba menawarkan solusi atas kemiskinan
dengan basis al-Qur’an, yakni mencoba menggali nilai-nilai al-Qur’an sebagai
spirit untuk mengentaskan kemiskinan. Sebab salah satu penyebab kemiskinan
adalah tidak produktifnya masyarakat di dalam menjalani hidup, maka perlu
adanya penyadaran tentang semangat hidup yang dinamis dan progresif dengan
basis agama. Penyadaran ini penting karena menyangkut nilai hidup yang dianut
oleh seseorang. Nilai dan ajaran agama yang dianut dianut seseorang akan
mempengaruhi tingkat pencapainya dalam usaha (achievement) dan status
sosial (Max Weber).[3]
Dalam proses penggalian nilai-nilai
al-Qur’an tentu tidak lepas dari apa yang disebut dengan metodologi tafsir.
Semakin tepat metodologi yang digunakan maka semakin banyak dan semakin dalam
kandungan yang ditemukan sehingga al-Qur’an benar-benar menjadi hidayah dan way
of life bagi umat Islam.[4] Karena al-Qur’an merupakan
kitab petunjuk, maka menghubungkan al-Qur’an dengan realitas sosial, seperti
problem kemiskinan, menjadi sebuah keniscayaan adanya.
Metodologi yanng dimaksud adalah
metode tafsir yang mampu membangun jembatan antara teks-teks al-Qur’an yang
sakral dan tetap adanya dengan realitas sosial yangg profan dan selalu
berubah-ubah. Di mana, problem-problem sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan
dicarikan jawabnya dalam al-Qur’an, yang banyak diasumsikan oleh para ulama
salaf sebagai penjelas dari segala sesuatu (tibyanan likulli syai’).
Mengutip Ali bin Abi Thâlib, paman
dan sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW— yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu
yang berada di antara dua cover mushaf itu tidak berbicara (silent),
tetapi yang berbicara sesungguhnya adalah manusia yang menjadikannya bicara.[5]
Ini artinya, bahwa ketidakmampuan manusia manafsirkan dan
meng-kontekstualisasikan nilai-nilai al-Qur’an hanya akan menjadikan al-Qur’an
sebagai prasasti belaka. Manusia harus mampu menafsirkan al-Qur’an untuk bisa
menjawab problem sosial yang dihadapinya.
Oleh karena itu, secara konseptual
al-Qur’an menempati ruang sosial dan ruang segala problematika kehidupan yang
terjadi, sehingga sifatnya tidak lagi abstrak, tetapi spesifik dan praksis
karena dikaitkan langsung dengan problem sosials, seperti halnya problem
kemiskinan.
Berpijak pada pengklasifikasian
metode tafsir versi Hasan Hanafi,[6] maka memproduksi tafsir yang
bersifat sosial menjadi urgen dalam hal ini. Menurutnya dalam hal memecahkan
problem sosial, metode tafsir sosial merupakan metode tafsir yang tepat.
Metode tafsir sosial adalah metode
tafsir juz’i (parsial) bukan tafsir kulli (universal) atas al-Qur’an.
Artinya, yang hendak ditafsirkan selalu berpijak atau berangkat dari kebutuhan
umat Islam, bukan menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan tanpa mempedulikan
kebutuhan dan tuntutan umat Islam.
Metode tafsir sosial ini juga bisa
disebut tafsir faktual karena berangkat dari realitas (yaitu problem
kemiskinan) umat Islam bukan berangkat dari ruang hampa. Tafsir model ini
tidaklah terlalu bersifat dan berorientasi teologis-normatif, tetapi lebih
mengarah pada tafsir antropologi yang bersifat praksis. Metode tafsir ini lebih
mendasarkan pada makna dan tujuan (tafsir bi al-Ma’na wa al-qasd) bukan
tafsir harfiyyah.
Pendek kata, pertanyaan selanjutnya
adalah apa yang ditawarkan al-Qur’an untuk mengentaskan kemiskinan? Apabila
problem raisi (fundamental) umat Islam sekarang ini adalah kemiskinan,
maka ayat-ayat enterpreneurship (kewirausahaan) yang menyemangati
manusia untuk bekerja, mandiri dan mencari rezeki, harus mendapatkan perhatian
dan prioritas. Kiranya dengan cara inilah tafsir memiliki tujuan praktis bukan
tujuan teoritis yang diarahkan untuk mengubah kondisi umat Islam. Sebab
kebenaran sebuah tafsir adalah perubahan dan pengaruh.
Oleh karena itu, tema menemukan
semangat enterpreneurship di dalam al-Qur’an ini muncul didorong oleh kebutuhan
akan suatu perspektif baru tentang bagaimana mengembangkan dan meningkatkan
semangat enterpreneurship berbasis al-Qur’an di tengah-tengah kemiskinan yang
melanda masyarakat.
Adakah ‘Enterpreneur’ di
dalam al-Qur’an?
Sebagai sumber nilai dan sumber
ajaran, al-Qur’an memiliki sifat yang umum (ijmâlan). Al-Qur’an memang
bukan kitab ‘hangabehi’, kitab yang memuat segala hal tentang persoalan
kehidupan secara mendetail.[7] Al-Qur’an adalah kitab yang
global, yang mengajarkan nilai-nilai yang sifatnya universal sehingga untuk
memahaminya diperlukan upaya-upaya tafsir secara metodologis.
Di samping itu, al-Qur’an adalah
kitab suci yang berbahasa Arab sehingga rasanya sangat tidak mungkin dan sangat
mustahil menemukan kata ‘enterpreneur’ di dalam al-Qur’an. Kecuali apabila
dilakukan sebuah transformasi makna atau nilai-nilai enterpreneurship ke dalam
al-Qur’an, atau dengan kata lain memindah semangat ‘enterpreneurship’ ke dalam
bahasa al-Qur’an. Dan inilah tugas tafsir, yakni mencari dan menemukan
nilai-nilai enterpreneurship dalam rentetan ayat-ayat al-Qur’an dan
mengkontekstualisasilkan dengan persoalan sekarang melalui bahasa kekinian.
Pendek kata, pertanyaan pokoknya
adalah adakah nilai-nilai al-Qur’an yang mengajarkan semangat enterpreneurship?
Apa saja ayat-ayatnya? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kiranya lebih baik
apabila didefinisikan terlebih dahulu apa makna kata ‘enterpreneur’ itu.
Makna Enterpreneur
Secara etimologi kata enterpeneur
atau enterpreneurship diambil dari kata enterprise yang berarti
perusahaan.[8] Sedangkan secara terminologi enterpreneurship
dimaknai sebagai:
The attempt to create value through
recognition of business opportunity, the management of risk-taking appropriate
and through the communicative and management skills to mobilize human,
financial and material resources necessary to bring a prject to fruition.[9]
Dari pengertian tersebut ada
sejumlah unsur penting:
- Usaha menciptakan nilai melalui bisnis.
- Mengelola resiko menjadi peluang.
- kemampuan komunikasi dan managemen.
- Memberdayakan manusia, keuangan dan sumber-sumber material.
- Untuk sebuah tujuan yakni kesuksesan.
Inti pengertian tersebut, apabila
disingkat dalam satu kata adalah BEKERJA. Bekerja mencari nilai (bisa berupa
nilai kepuasan dan material) dengan cara berbisnis (jual beli jasa dan barang)
dan menjadikan resiko bisnis sebagai tantangan untuk berkembang serta dibekali
dengan kemampuan komunikasi dan menagemen yang baik untuk mengelola sumber daya
manusia, alam dan sebagainya demi sebuah kesuksesan.
AYAT-AYAT ENTERPRENEURSHIP
Sebelum membahas tentang ayat-ayat enterpreneurship
(bekerja), landasan epistemologis bekerja sudah digambarkan secara apik oleh
al-Qur’an. Menurut al-Qur’an, manusia adalah sebuah kesatuan fungsional antara ‘abd
dan khalifah. ‘Abd ditandai dengan ketaatan religius dan
moralitas, sedangkan khalifah ditandai dengan kreativitas dalam
merumuskan konsep dan merealisasikannya di dunia ini. Dalam hal ini, tidak ada
dualitas pengetahuan di dunia Islam. pengetahuan di dalam Islam adalah monoteistik
sebagai kesatuan dan integritas wujud Keagungan dan ke-Maha-Pujian Tuhan.[10]
Di sinilah ayat-ayat
enterpreneurship yang menyeru manusia sekaligus sebagai ‘abd dan khalifah
menjadi penting untuk membangkitkan kembali semangat enterpreneur
demi meningkatkan mutu dan kualitas hidup manusia dan sekaligus mengentaskan
kemiskinan.
Sekali lagi, kalau boleh
disederhanakan enterpreneurship adalah Bekerja itu sendiri. Al-Qur’an
menggunakan beberapa kata untuk mengungkapkan Bekerja, di antara kata-kata
tersebut adalah ‘amal (عمل) [11]
Meskipun juga ada kata-kata lain yang memiliki makna bekerja seperti kasb
(كسب)[12], fi’l (فعل)[13]
dan sa’y سعي))[14].
Di antara kata tersebut yang paling
sering digunakan adalah kata ‘amal. Kata ‘amal ditemukan di dalam
al-Qur’an sebanyak 425 kali. Dalam bentuk madhi sebanyak 99 kali, bentuk
mudhari’ sebanyak 164 kali, bentuk amar sebanyak 11 kali, bentuk masdar
sebanyak 70 kali dan dalam bentuk isim fail sebanyak 13 kali. Kata ‘amal
dalam bahasa Arab merujuk pada dua hal. Pertama, kebanyakan kata ‘amal
digunakan untuk menunjuk setiap usaha manusia dalam mewujudkan tujuan
ekonomis (iqtishadiyyah). Kedua, kata ini menunjukkan ‘amal (perbuatan)
itu sendiri.[15]
Islam adalah agama yang menekankan
amal atau bekerja. Sebab amal atau bekerja merupakan salah satu cara praktis
untuk mencari mata pencahariaan yang diperbolehkan Allah swt. Sehingga bekerja
di dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu atau kelompok.[16]
Konsep amal di dalam Islam sangat
luasm tidak hanya menyangkut soal bisnis atau dagang saja. Amal adalah setipa
pekerjaan yang dilakukan manusia yang pantas untuk mendapatkan imbalan (upah),
baik berupa kegiatan badan, akal, indera ataupun seni.[17]
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an
yang menyerukan kepada manusia untuk bekerja. Berikut ini adalah contoh
ayat-ayat tentang perintah bekerja, yang kemudian akan dielaborasi secara
sederhana tapi ‘mengena’.
- Q.S. al-Hajj [22]:77
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ.
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Berdasarkan teksnya saja, ayat di
atas sudah bisa dipahami bahwa pertama, berbuat baik (bekerja secara
baik dan professional) merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Kedua, bekerja
yang selama ini seringkali dikaitkan dengan urusan dunia pada dasarnya setara
atau sejajar dengan ruku’, bersujud dan menyembah Allah swt. Ini artinya bahwa
bekerja juga merupakan ibadah.
- Q.S. Al-Kahfi [18]:110
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ
يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya
aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa
Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
Ayat ini cukup menarik dan memiliki
kelebihan yang hebat dibanding yang lain. Dalam ayat ini, dinyatakan
secara jelas bahwa barang siapa yang ingin bertemu dengan Allah swt maka
bekerjalah. Ini artinya bekerja itu sama dengan bertemu Allah swt, sebuah
reward yang paling tinggi yang pernah diberikan Allah swt kepada
hamba-Nya, yakni perjumpaan dengan-Nya. Di dalam al-Qur’an menceri ilmu hanya
di-reward dengan peningkatan derajat. Namun bekerja diganjar dengan
bertemu Allah swt. Sayangnya, orang seringkali tidak menyadari hal tersebut.
- Q.S. al-Jumu’ah [62]:10
فَإِذَا
قُضِيَتْ الصَّلاَةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Apabila telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ayat ini, di samping memerintahkan
bekerja juga mengingatkan bahwa bekerja sambil mengingat Allah swt ( bekerja
sesuai dengan prosedur yang Allah berikan) akan mendatangkan keuntungan.
- Q.S. al-Taubah [9]:105
وَقُلْ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ
عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan Katakanlah: “Bekerjalah
kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan.
Ayat ini secara implisit mendedahkan
kepada semua umat bahwa bekerja itu tidak semata-mata urusan dunia. Berkerja
tidak saja berimplikasi kepada dunia, tetapi juga akhirat. Kelak pekerjaan
itulah yang akan dinilai oleh Allah.
- Q.S. Ali Imron [16]:25
فَكَيْفَ
إِذَا جَمَعْنَاهُمْ لِيَوْمٍ لاَ رَيْبَ فِيهِ وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا
كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُون
Artinya: Bagaimanakah nanti apabila
mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya.
dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri Balasan apa yang diusahakannya sedang
mereka tidak dianiaya (dirugikan).
Ayat ini menunjukkan bahwa nilai
seseorang sangat bergantung pada amal atau ekerjaannya, yang kelak juga akan
diberikan ganjaran atas amal dan pekerjaan tersebut.
- Q.S. al-Nahl [16]:97
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُون
Artinya: Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman,
Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat ini menjanjikan kepada manusia
bahwasanya balasan bekerja adalah kehidupan yang layak dan pahala yang baik
melebihi nilai kebaikan pekerjaan itu sendiri. Ini menyiratkan bahwa bekerja
itu memiliki nilai plus.
- Q.S. al-Baqarah [2]:168
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ
تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Artinya: Hai sekalian manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.
Bila ditarik pada konteks entrepreneurship,
ayat ini memberikan petunjuk yang universal bagi para entrepreneur bahwa
bekerja dan berbisnislah secara halal dan baik, halal carannya, baik barangnya.
Dan jangan sekali-kali melakukan kecurangan (perbuatan setan) dalam bekerja:
memonopoli perdagangan, mengurangi timbangan dan sebagainya. Karena sesungguhnya
kecurangan dalam bekerja dan berbisnis hanya akan merugikan pelakunyan sendiri.
Oleh karena itu, jadikanlah kecurangan dalam bekerja dan berbisnis sebagai
musuh nyata yang harus dihilangkan.
- Q.S. al-Mulk [67]:15
هُوَ
الَّذِي جَعَلَ لَكُمْ الأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا
مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُور
Artinya: Dialah yang menjadikan bumi
itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah
sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan.
Secara sederhana, ayat ini bias
dipahami bahwa bekerja (apapun jenis pekerjaannya) dan bagaimanapun caranya (berjalan
di segala penjuru dan makan sebagian rezekinya), yang harus dipegang dan
ditumbuhkan adalah semua bisnis dan bekerja harus kembali kepada Allah.
Artinya, tujuan bekerja adalah zat yang Maha Membangkitkan, Allah SWT.
Sebetulnya, masih banyak-ayat ayat
lainnya yang memberikan semangat umat Islam untuk membangun gairah kerja atau
etos kerja. Tidak hanya al-Qur’an saja, hadis-hadis Nabi Muhammad pun
mengisyaratkan hal yang sama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Ma akala
ibnu Adam tha’aman khairan min ‘amali yadihi wa inna nabiyullah Dawud
kana ya’kulu min ‘amali yadihi . Artinya: “Tiada makanan yang baik
bagi anak Adam kecuali yang ia dapat dari tangannya sendiri dan sesungguhnya
Nabi Dawud as. Makan dari hasil kreativitas tangannya. (H.R. Bukhari).
Di saat yang lain Nabi Muhammad SAW
juga pernah bersabda: “Hendaklah kami berdagang karena di dalamnya terdapat
90 persen pintu rezeki (H.R. Ahmad bin Hanbal) . dan juga Nabi Muhammad SAW
pernah bersabda tentang hal yang sama: “Sesungguhnya sebaik-sebaik mata
pencahariaan adalah seorang pedagang (entrepreneur)” (H.R. Baihaqy).
Delapan ayat al-Qur’an dan sejumlah
hadis di atas—sebetulnya masih banyak lagi ayat-ayat lainnya, namun delapan ini
kiranya sudah cukup—menunjukkan sebuah konsep tersendiri tentang entrepreneurship.
Apabila dibandingkan dengan
pengertian dan konsep entrepreneurship sebagaimana dijelaskan di atas,
al-Qur’an memiliki jangkauan ke depan yang lebuh jauh dan komprehensif.
Bekerja atau entrepreneurship
dalam Islam merupakan kewajiban yang menjadi ibadah bagi pelakunya, bahkan
bekerja menjadi salah satu ciri orang yang beriman. Sehingga bekerja sejatinya
adalah beribadah kepada Allah swt. Karena bekerja adalah ibidah maka bekerja
akan mendapatkan pahala plus, bahkan ganjaran nyang tertinggi dari sebuah
keimanan, yakni bertemu Allah (liqa’u rabbi). Karena bekerja adalah
ibadah maka bekerja harus sesuai dengan syari’at Allah, yakni dengan cara yang halal,
baik dan bermanfaat. Karena bekerja adalah ibadah maka tujuan bekerja hanyalah
untuk Allah swt bukan untuk bekerja atau materi itu sendiri.
Berikut ini adalah tabel pembeda (tafriq)
antara secular entrepreneurship dan qur’anic entrepreneurship.
Secular
entrepreneurship
|
Qur’anic
entrepreneurship
|
Bekerja adalah bekerja
|
Bekerja adalah ibadah
|
Bekerja adalah urusan dunia
|
Bekerja adalah urusan dunia dan
akhirat
|
Tujuan bekerja adalah kesuksesan
|
Tujuan bekerja adalah mencari
ridha Allah swt
|
Menghalalkan secara cara
|
Bekerja dengan cara yang halal dan
baik
|
Keuntungannya materi
|
Materi dan pahala bekerja adalah
kehidupan yang lebih baik dan bertemu Allah
|
Al-Qur’an sebagai hidayah bagi umat
manusia memuat ayat-ayat yang mendorong dan mengajnurkan manusia untuk keluar
dari kubangan kemiskinan, yakni dengan menyemangati manusia untuk bekerja.
Bekerja yang bukan sekadar bekerja. Melainkan bekerja untuk ibadah, untuk
kesuksesan dunia akhirat yang berpuncak pada perjumpaan dengan Allah swt.
Kesadaran-kesadaran inilah yang
harus terus ditumbuhkan di dalam diri umat Islam sehingga semangat enterpreneurship
bisa bangkit dan mewujud dalam kretaivitas kerja yang nyata.
Kesadaran-kesadaran tersebut adalah, pertama, bekerja itu ibadah. Kedua,
bekerja secara baik dan profesional itu akan dibalas dengan pertemuan
dengan Allah swt. Ketiga, bekerja akan mendapatkan keutungan dunia
akhirat. Keempat, bekerja adalah salah satu ciri dan karkteristik orang
beriman.
Sumber: http://hanazta.com
0 komentar:
Posting Komentar