Menemukan Semangat Enterpreneurship di Dalam Al-Qur’an


 Salah satu problem yang dihadapi oleh semua bangsa di dunia sekarang ini adalah kemiskinan. Kemiskinan sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri dan implikasi masalahnya dapat menjangkiti seluruh aspek kehidupan manusia.[2]
Sekarang ini, kemiskinan tengah mendera bangsa Indonesia. Deraan kemiskinan ini semakin berat dirasakan terutama ketika bangsa ini mengalami krisis moneter tahun 1997-an. Hingga kini efek kemiskinan dan krisis tersebut masih terasa. Ini diperparah dengan terjadinya krisis global yang akhir-akhir ini melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Paling tidak,  ini diindikasikan dengan meningkatnya angka tindak kriminal, gizi buruk, busung lapar, anak putus sekolah dan lain sebagainya.
Pada tanggal 2 Juli 2007, pemerintah Indonesia melalui Badan Pusat Statistik (BPS) secara resmi mengumumkan turunnya jumlah penduduk miskin menjadi 37,7 juta jiwa atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia selama periode Maret 2006 sampai dengan Maret 2007. Meski demikian angka tersebut bukan berarti menunjukkan bahwa problem kemiskinan di negeri telah selesai, atau paling tidak berkurang.
Sejumlah NGO (non-government organization) ataupun pengamat politik dan sosial meragukan hasil penghitungan tersebut. Sebab pada kenyataannya warga masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan masih ada di mana-mana. Pendek kata, kemiskinan tetaplah menjadi persoalan utama bagi bangsa Indonesia.
Berbagai problem solving telah diawarkan oleh pemerintah dan pihak-pihak swasta melalui berbagai program pengentasan kemiskinan, perluasan lapangan kerja, pelatihan-pelatihan, peminjaman dana bergulir dan lain-lain. Namun, itu pun—untuk tidak mengatakan gagal sama sekali—tidak menyelesaikan masalah seratus persen. Sebab, tidak hanya oleh pemerintah, pihak swastapun, program-program tersebut cenderung dijadikan ‘proyek’ sesaat belaka.
Oleh karena itu, terkait dengan pengentasan kemiskinan, artikel ini mencoba menawarkan solusi atas kemiskinan dengan basis al-Qur’an, yakni mencoba menggali nilai-nilai al-Qur’an sebagai spirit untuk mengentaskan kemiskinan. Sebab salah satu penyebab kemiskinan adalah tidak produktifnya masyarakat di dalam menjalani hidup, maka perlu adanya penyadaran tentang semangat hidup yang dinamis dan progresif dengan basis agama. Penyadaran ini penting karena menyangkut nilai hidup yang dianut oleh seseorang. Nilai dan ajaran agama yang dianut dianut seseorang akan mempengaruhi tingkat pencapainya dalam usaha (achievement) dan status sosial (Max Weber).[3]
Dalam proses penggalian nilai-nilai al-Qur’an tentu tidak lepas dari apa yang disebut dengan metodologi tafsir. Semakin tepat metodologi yang digunakan maka semakin banyak dan semakin dalam kandungan yang ditemukan sehingga al-Qur’an benar-benar menjadi hidayah dan way of life bagi umat Islam.[4] Karena al-Qur’an merupakan kitab petunjuk, maka menghubungkan al-Qur’an dengan realitas sosial, seperti problem kemiskinan, menjadi sebuah keniscayaan adanya.
Metodologi yanng dimaksud adalah metode tafsir yang mampu membangun jembatan antara teks-teks al-Qur’an yang sakral dan tetap adanya dengan realitas sosial yangg profan dan selalu berubah-ubah. Di mana, problem-problem sosial, politik, ekonomi dan kemanusiaan dicarikan jawabnya dalam al-Qur’an, yang banyak diasumsikan oleh para ulama salaf sebagai penjelas dari segala sesuatu (tibyanan likulli syai’).
Mengutip Ali bin Abi Thâlib, paman dan sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW— yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu yang berada di antara dua cover mushaf itu tidak berbicara (silent), tetapi yang berbicara sesungguhnya adalah manusia yang menjadikannya bicara.[5] Ini artinya, bahwa ketidakmampuan manusia manafsirkan dan meng-kontekstualisasikan nilai-nilai al-Qur’an hanya akan menjadikan al-Qur’an sebagai prasasti belaka. Manusia harus mampu menafsirkan al-Qur’an untuk bisa menjawab problem sosial yang dihadapinya.
Oleh karena itu, secara konseptual al-Qur’an menempati ruang sosial dan ruang segala problematika kehidupan yang terjadi, sehingga sifatnya tidak lagi abstrak, tetapi spesifik dan praksis karena dikaitkan langsung dengan problem sosials, seperti halnya problem kemiskinan.
Berpijak pada pengklasifikasian metode tafsir versi Hasan Hanafi,[6] maka memproduksi tafsir yang bersifat sosial menjadi urgen dalam hal ini. Menurutnya dalam hal memecahkan problem sosial, metode tafsir sosial merupakan metode tafsir yang tepat.
Metode tafsir sosial adalah metode tafsir juz’i (parsial) bukan tafsir kulli (universal) atas al-Qur’an. Artinya, yang hendak ditafsirkan selalu berpijak atau berangkat dari kebutuhan umat Islam, bukan menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan tanpa mempedulikan kebutuhan dan tuntutan umat Islam.
Metode tafsir sosial ini juga bisa disebut tafsir faktual karena berangkat dari realitas (yaitu problem kemiskinan) umat Islam bukan berangkat dari ruang hampa. Tafsir model ini tidaklah terlalu bersifat dan berorientasi teologis-normatif, tetapi lebih mengarah pada tafsir antropologi yang bersifat praksis. Metode tafsir ini lebih mendasarkan pada makna dan tujuan (tafsir bi al-Ma’na wa al-qasd) bukan tafsir harfiyyah.
Pendek kata, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang ditawarkan al-Qur’an untuk mengentaskan kemiskinan? Apabila problem raisi (fundamental) umat Islam sekarang ini adalah kemiskinan, maka ayat-ayat enterpreneurship (kewirausahaan) yang menyemangati manusia untuk bekerja, mandiri dan mencari rezeki, harus mendapatkan perhatian dan prioritas. Kiranya dengan cara inilah tafsir memiliki tujuan praktis bukan tujuan teoritis yang diarahkan untuk mengubah kondisi umat Islam. Sebab kebenaran sebuah tafsir adalah perubahan dan pengaruh.
Oleh karena itu, tema menemukan semangat enterpreneurship di dalam al-Qur’an ini muncul didorong oleh kebutuhan akan suatu perspektif baru tentang bagaimana mengembangkan dan meningkatkan semangat enterpreneurship berbasis al-Qur’an di tengah-tengah kemiskinan yang melanda masyarakat.
Adakah ‘Enterpreneur’ di dalam al-Qur’an?
Sebagai sumber nilai dan sumber ajaran, al-Qur’an memiliki sifat yang umum (ijmâlan). Al-Qur’an memang bukan kitab ‘hangabehi’, kitab yang memuat segala hal tentang persoalan kehidupan secara mendetail.[7] Al-Qur’an adalah kitab yang global, yang mengajarkan nilai-nilai yang sifatnya universal sehingga untuk memahaminya diperlukan upaya-upaya tafsir secara metodologis.
Di samping itu, al-Qur’an adalah kitab suci yang berbahasa Arab sehingga rasanya sangat tidak mungkin dan sangat mustahil menemukan kata ‘enterpreneur’ di dalam al-Qur’an. Kecuali apabila dilakukan sebuah transformasi makna atau nilai-nilai enterpreneurship ke dalam al-Qur’an, atau dengan kata lain memindah semangat ‘enterpreneurship’ ke dalam bahasa al-Qur’an. Dan inilah tugas tafsir, yakni mencari dan menemukan nilai-nilai enterpreneurship dalam rentetan ayat-ayat al-Qur’an dan mengkontekstualisasilkan dengan persoalan sekarang melalui bahasa kekinian.
Pendek kata, pertanyaan pokoknya adalah adakah nilai-nilai al-Qur’an yang mengajarkan semangat enterpreneurship? Apa saja ayat-ayatnya? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kiranya lebih baik apabila didefinisikan terlebih dahulu apa makna kata ‘enterpreneur’ itu.
Makna Enterpreneur
Secara etimologi kata enterpeneur atau enterpreneurship diambil dari kata enterprise yang berarti perusahaan.[8] Sedangkan secara terminologi enterpreneurship dimaknai sebagai:
The attempt to create value through recognition of business opportunity, the management of risk-taking appropriate and through the communicative and management skills to mobilize human, financial and material resources necessary to bring a prject to fruition.[9]
Dari pengertian  tersebut ada sejumlah unsur penting:
  1. Usaha menciptakan nilai melalui bisnis.
  2. Mengelola resiko menjadi peluang.
  3. kemampuan komunikasi dan managemen.
  4. Memberdayakan manusia, keuangan dan sumber-sumber material.
  5. Untuk sebuah tujuan yakni kesuksesan.
Inti pengertian tersebut, apabila disingkat dalam satu kata adalah BEKERJA. Bekerja mencari nilai (bisa berupa nilai kepuasan dan material) dengan cara berbisnis (jual beli jasa dan barang) dan menjadikan resiko bisnis sebagai tantangan untuk berkembang serta dibekali dengan kemampuan komunikasi dan menagemen yang baik untuk mengelola sumber daya manusia, alam dan sebagainya demi sebuah kesuksesan.
AYAT-AYAT ENTERPRENEURSHIP
Sebelum membahas tentang ayat-ayat enterpreneurship (bekerja), landasan epistemologis bekerja sudah digambarkan secara apik oleh al-Qur’an. Menurut al-Qur’an, manusia adalah sebuah kesatuan fungsional antara ‘abd dan khalifah. Abd ditandai dengan ketaatan religius dan moralitas, sedangkan khalifah ditandai dengan kreativitas dalam merumuskan konsep dan merealisasikannya di dunia ini. Dalam hal ini, tidak ada dualitas pengetahuan di dunia Islam. pengetahuan di dalam Islam adalah monoteistik sebagai kesatuan dan integritas wujud Keagungan dan ke-Maha-Pujian Tuhan.[10]
Di sinilah ayat-ayat enterpreneurship yang menyeru manusia sekaligus sebagai ‘abd dan khalifah menjadi penting untuk membangkitkan kembali semangat enterpreneur demi meningkatkan mutu dan kualitas hidup manusia dan sekaligus mengentaskan kemiskinan.
Sekali lagi, kalau boleh disederhanakan enterpreneurship adalah Bekerja itu sendiri. Al-Qur’an menggunakan beberapa kata untuk mengungkapkan Bekerja, di antara kata-kata tersebut adalah amal (عمل) [11] Meskipun juga ada kata-kata lain yang memiliki makna bekerja seperti kasb (كسب)[12], fi’l  (فعل)[13] dan sa’y سعي))[14].
Di antara kata tersebut yang paling sering digunakan adalah kata ‘amal. Kata ‘amal ditemukan di dalam al-Qur’an sebanyak 425 kali. Dalam bentuk madhi sebanyak 99 kali, bentuk mudhari’ sebanyak 164 kali, bentuk amar sebanyak 11 kali, bentuk masdar sebanyak 70 kali dan dalam bentuk isim fail sebanyak 13 kali. Kata ‘amal dalam bahasa Arab merujuk pada dua hal. Pertama, kebanyakan kata ‘amal digunakan untuk menunjuk setiap usaha manusia dalam mewujudkan tujuan ekonomis (iqtishadiyyah). Kedua, kata ini menunjukkan ‘amal (perbuatan) itu sendiri.[15]
Islam adalah agama yang menekankan amal atau bekerja. Sebab amal atau bekerja merupakan salah satu cara praktis untuk mencari mata pencahariaan yang diperbolehkan Allah swt. Sehingga bekerja di dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu atau kelompok.[16]
Konsep amal di dalam Islam sangat luasm tidak hanya menyangkut soal bisnis atau dagang saja. Amal adalah setipa pekerjaan yang dilakukan manusia yang pantas untuk mendapatkan imbalan (upah), baik berupa kegiatan badan, akal, indera ataupun seni.[17]
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menyerukan kepada manusia untuk bekerja. Berikut ini adalah contoh ayat-ayat tentang perintah bekerja, yang kemudian akan dielaborasi secara sederhana tapi ‘mengena’.
  1. Q.S. al-Hajj [22]:77
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Berdasarkan teksnya saja, ayat di atas sudah bisa dipahami bahwa pertama, berbuat baik (bekerja secara baik dan professional) merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Kedua, bekerja yang selama ini seringkali dikaitkan dengan urusan dunia pada dasarnya setara atau sejajar dengan ruku’, bersujud dan menyembah Allah swt. Ini artinya bahwa bekerja juga merupakan ibadah.
  1. Q.S. Al-Kahfi [18]:110
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
Ayat ini cukup menarik dan memiliki kelebihan yang hebat dibanding yang lain. Dalam ayat ini, dinyatakan secara  jelas bahwa barang siapa yang ingin bertemu dengan Allah swt maka bekerjalah. Ini artinya bekerja  itu sama dengan bertemu Allah swt, sebuah reward yang paling tinggi yang pernah diberikan Allah swt kepada hamba-Nya, yakni perjumpaan dengan-Nya. Di dalam al-Qur’an menceri ilmu hanya di-reward dengan peningkatan derajat. Namun bekerja diganjar dengan bertemu Allah swt. Sayangnya, orang seringkali tidak menyadari hal tersebut.
  1. Q.S. al-Jumu’ah [62]:10
فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلاَةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ayat ini, di samping memerintahkan bekerja juga mengingatkan bahwa bekerja sambil mengingat Allah swt ( bekerja sesuai dengan prosedur yang Allah berikan) akan mendatangkan keuntungan.
  1. Q.S. al-Taubah [9]:105
وَقُلْ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Ayat ini secara implisit mendedahkan kepada semua umat bahwa bekerja itu tidak semata-mata urusan dunia. Berkerja tidak saja berimplikasi kepada dunia, tetapi juga akhirat. Kelak pekerjaan itulah yang  akan dinilai oleh Allah.
  1. Q.S. Ali Imron [16]:25
فَكَيْفَ إِذَا جَمَعْنَاهُمْ لِيَوْمٍ لاَ رَيْبَ فِيهِ وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُون
Artinya: Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri Balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan).
Ayat ini menunjukkan bahwa nilai seseorang sangat bergantung pada amal atau ekerjaannya, yang kelak juga akan diberikan ganjaran atas amal dan pekerjaan tersebut.
  1. Q.S. al-Nahl [16]:97
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat ini menjanjikan kepada manusia bahwasanya balasan bekerja adalah kehidupan yang layak dan pahala yang baik melebihi nilai kebaikan pekerjaan itu sendiri. Ini menyiratkan bahwa bekerja itu memiliki nilai plus.
  1. Q.S. al-Baqarah [2]:168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Bila ditarik pada konteks entrepreneurship, ayat ini memberikan petunjuk yang universal bagi para entrepreneur bahwa bekerja dan berbisnislah secara halal dan baik, halal carannya, baik barangnya. Dan jangan sekali-kali melakukan kecurangan (perbuatan setan) dalam bekerja: memonopoli perdagangan, mengurangi timbangan dan sebagainya. Karena sesungguhnya kecurangan dalam bekerja dan berbisnis hanya akan merugikan pelakunyan sendiri. Oleh karena itu, jadikanlah kecurangan dalam bekerja dan berbisnis sebagai musuh nyata yang harus dihilangkan.
  1. Q.S. al-Mulk [67]:15
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمْ الأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُور
Artinya: Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Secara sederhana, ayat ini bias dipahami bahwa bekerja (apapun jenis pekerjaannya) dan bagaimanapun caranya (berjalan di segala penjuru dan makan sebagian rezekinya), yang harus dipegang dan ditumbuhkan adalah semua bisnis dan bekerja harus kembali kepada Allah. Artinya, tujuan bekerja adalah zat yang Maha Membangkitkan, Allah SWT.
Sebetulnya, masih banyak-ayat ayat lainnya yang memberikan semangat umat Islam untuk membangun gairah kerja atau etos kerja. Tidak hanya al-Qur’an saja, hadis-hadis Nabi Muhammad pun mengisyaratkan hal yang sama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Ma akala ibnu Adam tha’aman khairan min ‘amali yadihi wa inna nabiyullah Dawud kana  ya’kulu min ‘amali yadihi . Artinya: “Tiada makanan yang baik bagi anak Adam kecuali yang ia dapat dari tangannya sendiri dan sesungguhnya Nabi Dawud as. Makan dari hasil kreativitas tangannya. (H.R. Bukhari).
Di saat yang lain Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda: “Hendaklah kami berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki (H.R. Ahmad bin Hanbal) . dan juga Nabi Muhammad SAW pernah bersabda tentang hal yang sama: “Sesungguhnya sebaik-sebaik mata pencahariaan adalah seorang pedagang (entrepreneur)” (H.R. Baihaqy).
Delapan ayat al-Qur’an dan sejumlah hadis di atas—sebetulnya masih banyak lagi ayat-ayat lainnya, namun delapan ini kiranya sudah cukup—menunjukkan sebuah konsep tersendiri tentang entrepreneurship.
Apabila dibandingkan dengan pengertian dan konsep entrepreneurship sebagaimana dijelaskan di atas, al-Qur’an memiliki jangkauan ke depan yang lebuh jauh dan komprehensif.
Bekerja atau entrepreneurship dalam Islam merupakan kewajiban yang menjadi ibadah bagi pelakunya, bahkan bekerja menjadi salah satu ciri orang yang beriman. Sehingga bekerja sejatinya adalah beribadah kepada Allah swt. Karena bekerja adalah ibidah maka bekerja akan mendapatkan pahala plus, bahkan ganjaran nyang tertinggi dari sebuah keimanan, yakni bertemu Allah (liqa’u rabbi). Karena bekerja adalah ibadah maka bekerja harus sesuai dengan syari’at Allah, yakni dengan cara yang halal, baik dan bermanfaat. Karena bekerja adalah ibadah maka tujuan bekerja hanyalah untuk Allah swt bukan untuk bekerja atau materi itu sendiri.
Berikut ini adalah tabel pembeda (tafriq) antara secular entrepreneurship dan qur’anic entrepreneurship.
Secular entrepreneurship
Qur’anic entrepreneurship
Bekerja adalah bekerja
Bekerja adalah ibadah
Bekerja adalah urusan dunia
Bekerja adalah urusan dunia dan akhirat
Tujuan bekerja adalah kesuksesan
Tujuan bekerja adalah mencari ridha Allah swt
Menghalalkan secara cara
Bekerja dengan cara yang halal dan baik
Keuntungannya materi
Materi dan pahala bekerja adalah kehidupan yang lebih baik dan bertemu Allah
Al-Qur’an sebagai hidayah bagi umat manusia memuat ayat-ayat yang mendorong dan mengajnurkan manusia untuk keluar dari kubangan kemiskinan, yakni dengan menyemangati manusia untuk bekerja. Bekerja yang bukan sekadar bekerja. Melainkan bekerja untuk ibadah, untuk kesuksesan dunia akhirat yang berpuncak pada perjumpaan dengan Allah swt.
Kesadaran-kesadaran inilah yang harus terus ditumbuhkan di dalam diri umat Islam sehingga semangat enterpreneurship bisa bangkit dan mewujud dalam kretaivitas kerja yang nyata. Kesadaran-kesadaran tersebut adalah, pertama, bekerja itu ibadah. Kedua, bekerja secara baik dan profesional itu akan dibalas dengan pertemuan dengan Allah swt. Ketiga, bekerja akan mendapatkan keutungan dunia akhirat. Keempat, bekerja adalah salah satu ciri dan karkteristik orang beriman.
Sumber: http://hanazta.com

0 komentar:

Posting Komentar