Masukan Thawus tersebut barangkali tidak sementereng teori-teori pemberantasan korupsi yang ramai dikemukakan dewasa ini. Namun, ketika teori yang mentereng itu tak jua berhasil, bahkan iming-iming remunerasi pun berujung pada semakin maraknya praktik penilapan uang rakyat. Kini, apa yang disampaikan Thawus menjadi menarik untuk direnungkan kembali.
Dari teladan Rasulullah SAW dan khulafaurrasyidin RA, paling tidak ada tiga kriteria orang baik yang membuatnya layak diamanahi suatu jabatan. Pertama, ia tidak terlalu berambisi merengkuh jabatan itu, apalagi sampai menghalalkan segala cara.
Dalam sebuah hadis sahih dari Abu Musa al-Asy'ari, Rasulullah SAW bersabda, ''Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang memintanya atau berambisi mendapatkannya.'' (HR Muslim).
Sebab, ketika seseorang sampai menghalalkan segala cara untuk memperoleh suatu jabatan, bisa dipastikan ia akan sulit berlaku amanah. Alih-alih diharapkan berkorban untuk kesejahteraan rakyat, ia justru akan sibuk mengembalikan modal yang pernah dikeluarkannya, memperkaya diri, dan mencari prestise lewat jabatan yang diemban.
Kedua, ia taat beribadah dan memiliki relasi sosial yang baik. Ketika Umar bin Khattab RA mengangkat Nafi' bin al-Harits sebagai gubernur Makkah, Nafi' memilih Ibnu Abza untuk mengepalai masyarakat yang tinggal di daerah lembah dekat Makkah.
Padahal, Ibnu Abza hanyalah bekas budak di komunitas tersebut. Saat Umar bin Khattab mengonfirmasi hal itu, Nafi' menjawab, ''Ia memang bekas budak, tetapi ia hafal Alquran, paham masalah faraidl (waris), dan sering memutuskan persoalan masyarakat dengan adil.'' (HR Ahmad). Maka, Umar pun memuji pilihan Nafi' karena melihat kapabilitas dan tingkat akseptabilitas Ibnu Abza.
Ketiga, ia adalah pribadi yang sederhana dalam kesehariannya. Sebab, hanya pejabat dengan
Sumber : www.republika.co.id diakses hari Rabu tanggal 19 Mei 2010
0 komentar:
Posting Komentar